Minggu, 10 Mei 2015

MY DADDY GOD.......IS OUR HEALER

Perkenalkan nama saya, Didiek Hardiyanto Soegiantoro. 
Pada tahun 1999 saya menikah dengan Yulia Pattie Kristanto dan kami dipercayakan Tuhan dengan kedua anak yang luar biasa mengasihi dan dicintai Tuhan, Holy Rhema Soegiantoro dan Gregory Hope Soegiantoro. Meskipun secara medis kami berdua divonis mandul, tetapi mereka inilah anak-anak Tuhan yang dipercayakan kepada kami, seperti ada dalam kesaksian istri saya.
Pada tanggal 23 Oktober 2005, saat itu kami merayakan ulang tahun yang kedua dari anak kami, Gregory. Kami membawa kedua anak kami untuk makan siang diluar rumah, di tempat yang makanannya dia sukai. Pada saat kami tengah makan bersama, tiba-tiba dia mengeluh sakit di bagian bawah perutnya. Saya pikir dia sakit perut biasa, tetapi tidak lama kemudian dia mulai muntah-muntah sambil menangis karena kesakitan. Saya memeriksa bagian perutnya dan ternyata di bagian bawah perut yang dia tunjukkan sebagai penyebab rasa sakitnya, saya menemukan sebuah tonjolan yang cukup besar dan keras; besarnya seperti setengah butir telor ayam. Memang sejak dia berumur setahun, ada gejala hernia yang terlihat, dimana kantung skrotumnya membesar akibat usus yang masuk ke dalamnya. Tetapi selama ini kami pikir tidak apa-apa karena tidak pernah ada keluhan atas hal tersebut.

Kegembiraan kami sekeluarga siang hari itu langsung berubah menjadi kepanikan dan kebingungan, sebab kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Kami mencoba mengurangi benjolan tersebut dengan cara ditekan pelan, namun itu menambah rasa sakitnya dan dia tidak mau hal itu kami lakukan. Kami coba mengompres dengan air hangat juga tidak membuahkan hasil. Gregory masih saja tetap muntah dan merintih kesakitan. Berbagai obat penghilang sakit dan anti muntah saya berikan kepadanya, namun tidak sampai lima menit keluar lagi. Kami menghitung jumlah yang dia muntahkan selalu lebih banyak daripada yang dia minum. Meskipun dia merasa haus dan ingin minum, tetapi setiap kali dia minum, sesedikit apapun pasti segera muntah kembali dan yang dimuntahkan selalu lebih banyak. Kami sangat bingung sebab dia masih terus muntah dan tidak ada tanda-tanda semakin membaik, bahkan sebaliknya. Gregory tetap saja muntah-muntah setiap 10-15 menit sekali dan bahkan telah menunjukkan gejala dehidrasi. Kondisinya semakin lemah dan kami sungguh sangat tidak tega mendengar rintihan kesakitannya.

Kemudian saya mulai menghubungi teman-teman dokter dan mengkonsultasikan permasalahan yang saya hadapi. Dokter menyatakan bahwa usus yang terjepit keluar harus dilakukan tindakan operasi secepat mungkin sebelum 24 jam untuk mengembalikan jaringan usus yang terjepit agar terhindari dari resiko nekrosis (jaringan usus yang mati) dan ganggren yang menyebabkan ususnya harus dipotong. Saya pun tidak puas dengan penjelasan satu orang dokter, sehingga saya bertanya kepada dokter yang lain. Tetapi semuanya menyarankan hal yang sama, yaitu operasi secepat mungkin atau terlambat dan usus harus dipotong.
Setelah mendengar rekomendasi tersebut, kami menghubungi sebuah rumah sakit terbesar di Jogja dengan fasilitas ruang operasi dan recovery yang paling baik untuk meminta persiapan operasi buat Gregory. Bahkan saya pun telah menentukan dan menghubungi dokter bedah, dokter anestesi, dan dokter anak yang akan menangani tindakan malam itu.

Menjelang tengah malam, setelah semua dokter dan kamar sudah siap untuk melakukan tindakan operasi serta kami pun sudah berkemas dengan segala keperluan selama berada di rumah sakit; maka sesaat sebelum meninggalkan rumah, tiba-tiba Tuhan mengingatkan istri saya untuk berdoa. Memang kepanikan dan kebingungan kami membuat kami “lupa” kalau Tuhan ada seperti halnya murid-murid Yesus yang panik dan bingung saat perahu mereka hampir tenggelam tanpa menyadari bahwa saat itu Yesus ada bersama mereka. Kami tersadarkan akan kebodohan kami, dan sebelum berdoa kami menelepon teman doa yang ada di Parakan untuk meminta peneguhan terhadap apa yang akan Tuhan sampaikan. Selama ini kami percaya bahwa Tuhan sanggup menyembuhkan seseorang melalui dokter dan obat. Kami belum pernah mengalami dan membuktikan mujizat kesembuhan ilahi terjadi atas hidup kami. Setelah menutup telepon, kami pun segera berdoa dan menghampiri-NYA dengan hati yang sangat hancur. Saat itu Gregory yang sudah sangat lemah ada dalam gendongan istri dan saya pun memeluknya sambil kami meneteskan air mata kepedihan, sebab kami bisa merasakan penderitaan yang dia alami. Saat kami ada dalam hadirat Tuhan, dengan jelas Tuhan berkata,
”Apakah engkau percaya kepada-KU?”
Kami bertanya tentang dokter dan rumah sakit yang kami pilih sudah tepat atau belum, tetapi Tuhan hanya berkata itu. Sampai tiga kali kami tanyakan dan perkataan Tuhan tetap sama. Saat itu kami tahu bahwa Tuhan menyerahkan keputusan itu kembali kepada kami. DIA tidak melarang kami namun DIA juga tidak menyarankan kami.

Tak berselang lama kemudian teman kami menelepon dan dia berkata,
”Aneh ya....koq Tuhan hanya berbicara singkat, ‘kuasa-KU tetap sama dari dulu, sekarang dan selamanya. Apakah kamu percaya kepada-KU?’ itu saja jawaban Tuhan”
Akhirnya kami berdua dengan bulat hati memutuskan untuk mengambil pilihan untuk percaya kepada mujizat kesembuhan, meskipun kami tahu bahwa itu sangat beresiko terhadap kehidupan Gregory mengingat pengalaman kami dalam kesembuhan ilahi tidak ada sama sekali. Apalagi latar belakang saya yang mengandalkan logika serta pengetahuan dalam bidang kesehatan yang tidak mendukung keputusan ini. Kami berdua berdoa kembali dan berkata,
“Bapa, inilah keputusan kami, bahwa kami mau belajar percaya akan kuasa-MU. Oleh sebab itu berilah iman kepada kami dan ajari kami untuk percaya.”

Setelah selesai berdoa, saya langsung menghubungi rumah sakit, dokter anak, dokter bedah, dan dokter anestesi yang sudah menunggu kami. Saya meminta maaf kepada mereka dan saya katakan bahwa kami tidak jadi kesana sebab anak kami sudah sembuh. Kemudian kami juga memberi kabar kedua orangtua kami tentang kondisi yang dialami Gregory dan keputusan yang kami buat untuk mempercayakan kesembuhannya kepada Tuhan, dengan demikian kami juga berharap mendapatkan dukungan doa dari mereka.

Kesembuhan yang sangat kami nantikan tidak terjadi seketika itu. Sepanjang malam Gregory terus muntah dan kondisinya semakin memburuk. Kami berdua tidak tidur semalaman karena menjaga Greg dan terus membersihkan muntahannya. Menjelang tengah malam, tiba-tiba Tuhan dengan sangat jelas memberikan gambaran jika malam itu kami membawa Gregory ke rumah sakit, kemudian tidak berapa lama dia akan ditangani di UGD, dipasang infus, diambil darahnya, dan setelah selesai diperiksa dia akan dipindahkan ke dalam ruang operasi. Gambaran itu begitu kuat menunjukkan saat berada di kamar operasi kami melihat melalui layar televisi di ruang tunggu yang dipisahkan dengan sebuah kaca, dimana Gregory terbaring di atas meja operasi dan para dokter mengelilingi meja operasi, sedangkan kami hanya bisa menonton dan tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itu Tuhan berbicara dengan suara-NYA yang lembut,
“Lihatlah! Apakah bedanya kamu serahkan anakmu ke tangan dokter di atas meja operasi itu dibandingkan kamu serahkan dia ke dalam tangan-KU? Bukankah keduanya itu sama-sama kamu tidak bisa berbuat apa-apa? Tahukah kamu bahwa AKU-lah Dokter yang menciptakan kamu dan anakmu juga?”
Saat itu saya berkata,
”Benar, BAPA, ijinkanlah saya memiliki iman dan belajar untuk menyerahkan semuanya ini kepada-MU”
Saya pun menceritakan kepada istri tentang penyataan yang Tuhan sampaikan. Tetapi setelah Tuhan berbicara itupun sepanjang malam itu kondisinya semakin memburuk.

Keesokan harinya Gregory masih tetap saja muntah bahkan seluruh isi cairan dalam lambung dan ususnya sudah mulai terkuras habis. Tetapi setelah melewati batas waktu 24 jam tetap tidak ada tanda-tanda kesembuhan. Pada sore hari itu Gregory sudah menunjukkan gejala dehidrasi parah, matanya sayu, hanya sebentar dia membuka mata dan setelah itu menutup kembali, tidak ada tenaga bahkan hanya untuk menggerakkan tangannya. Hanya gerakan di dadanya yang menunjukkan bahwa dia masih bernapas............hanya itu

Pada saat kritis seperti itu, tiba-tiba orangtua istri saya menelepon dan menanyakan kondisi cucunya. Kami menceritakan keadaannya saat itu dan dengan mendesak mereka minta kami untuk segera membawa Gregory ke rumah sakit agar nyawanya dapat tertolong. Saat itu istri saya menjawab mereka,
“Maaf, mah....Maaf, pah......Keputusan kami sudah bulat untuk percaya hanya kepada Tuhan”
Kemudian dalam keputusasaannya, mereka berkata,
“Jika Tuhan tidak memberikan kesembuhan sebagaimana yang kamu harapkan, dan akhirnya Gregory sampai meninggal dunia. Apakah kamu akan kecewa kepada Tuhan?”
Istri saya menjawab,
“Tidak.....sama sekali tidak......sebab Tuhan yang memberikan Gregory.....dan jika Tuhan mau mengambilnya lagi....silahkan.... kami tidak akan kecewa dan marah kepada Tuhan.”
Lalu merekapun hanya bisa memberikan semangat kepada kami.
Setelah telepon itu ditutup, pikiran saya dipenuhi dengan rekaman-rekaman peristiwa dari Gregory, mulai dari bayi sampai usianya yang masih 2 tahun itu. Bagaimana dia bermain, berlari, bernyanyi, dan keceriaannya membuat suasana keluarga berbeda dengan kehadirannya. Gambaran-gambaran ini mulai melemahkan iman saya.

Pada saat iman saya mulai kritis, Tuhan tahu dan DIA mempertontonkan “video” di hadapan saya tentang Abraham diminta untuk mempersembahkan Ishak sebagai korban bakaran. Dan Tuhan berkata,
“Kaulihat, itu! AKU tidak menyediakan domba saat Abraham bersiap-siap berangkat dari rumahnya..............AKU tidak memberi domba saat Abraham meninggalkan bujangnya dan menaruh kayu bakaran itu di pundak anaknya...........AKU tidak sediakan hewan itu saat mereka sampai di gunung itu...........AKU-pun tidak memberi domba saat mezbah itu selesai dibangun...........AKU tidak berikan domba saat Abraham mengikat Ishak di atas mezbah...........TETAPI....saat Abraham mengulurkan tangannya untuk menyembelih Ishak, saat itulah AKU berikan domba jantan.”
Saat tengah malam......kami berdua sudah tidak kuat lagi menahan kelelahan tubuh ini .........kami berdua terlelap

Saat dini hari berikutnya sekitar jam 4 pagi. Tiba-tiba saya mendengar suara Gregory yang bernyanyi-nyanyi dan melompat-lompat dengan sangat gembira. Saya menduga ini efek halusinasi atau saya diberi kesempatan mendengar sukacita Gregory bersama Tuhan di Firdaus. Tetapi suara itu semakin jelas dan saya semakin tersadarkan bahwa ini bukan halusinasi atau penglihatan supranatural. Saya membuka mata saya dan apa yang saya lihat bukanlah halusinasi atau mimpi. Saya melihat dan mendengar Gregory melompat-lompat dan berlari-lari di atas tempat tidur sambil bernyanyi dengan gembira “Tuhan Yesus tidak berubah”, sebuah nyanyian lama yang saya yakin sudah tidak pernah diajarkan dan diperdengarkan di sekolah minggu maupun di gereja. Pagi hari itu Gregory langsung minta minum dan makan, dan tidak ada nekrosis ataupun ganggren seperti yang disebutkan secara medis terjadi pada ususnya, semuanya normal.

Mujizat sudah terjadi....dan benar-benar terjadi...... Kami menerima apa yang dijanjikan Tuhan......kesembuhan ilahi itu benar-benar ada dan masih berlangsung sampai saat ini........dan selamanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar